Home / Berita / Pengelolaan Konservasi Gaya Sosiologis

Pengelolaan Konservasi Gaya Sosiologis

Oleh: Dr. Ir. MAHRUS ARYADI, M.Sc, Kepala Balai KSDA Kalimantan Selatan

FORESTRY is not about trees, it is about people. And it is about trees only in so far as trees can serve the needs of the people” (Jack Westoby, 1967). Inilah kutipan awal yang ditulis oleh Bapak Ir. Wiratno, M.Sc, selaku pemegang tampuk tertinggi di Direktorat Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem (KSDAE).

Pemaknaan dari kutipan ini sangatlah mendalam, karena akan merubah sebuah paradigma (pandangan dasar) terhadap hutan, yakni hutan sebagai penghasil “hanya” kayu menjadi hutan sebagai penyangga kehidupan. Hutan bukanlah hanya terdiri dari kumpulan pohon berkayu, tetapi hutan sebagai habitat (tempat hidup) bagi segenap makhluk hidup, penghasil oksigen yang setiap saat dibutuhkan makhluknya, dan tata air raksasa yang luar biasa pentingnya.

Peran dan Masalah di Kawasan Konservasi
Di Indonesia, hutan secara formal berdasarkan luasan 123 juta Ha. Mengutip paparan Wiratno (2017), ketergantungan masyarakat terhadap sumberdaya hutan masih sangat signifikan. Dari 74.954 desa di Indonesia, lebih dari 25.600 desa atau 34,1 persen adalah desa yang di pinggir hutan.

Sedangkan di Hutan Konservasi seluas 27,1 juta hektare terdapat 6.381 desa di sekitarnya yang kehidupannya sangat tergantung pada kondisi sumberdaya hutan tersebut.

Dengan demikian, hutan konservasi juga tidak dapat dilepaskan dari persoalan sosial, di samping juga menghadap berbagai persoalan kerusakan habitat satwa liar, perburuan satwa, perambahan yang diprediksi telah mencapai 2,2 juta hektare atau 8 persen dari luas hutan konservasi daratan.

Saat ini, upaya untuk mengakomodir keberadaaan dan ketergantungan masyarakat dengan hutan konservasi adalah dengan penetapan zona tradisional, khususnya di taman nasional. Dari kawasan taman nasional seluas 16.232.132 hektare, telah ditetapkan Zona Tradisional seluas 1.280.062 hektare atau 7,8 persen. Ke depan, zona tradisional tersebut dapat diperluas sesuai dengan kondisi dan kebutuhan setempat. Ditjen KSDAE mendeklarasikan 27,2 Juta Ha kawasan konservasi sebagai “ National Treasure”.

Di Kalimantan Selatan, berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 435/Menhut-II/2009, tanggal 23 Juli 2009, maka luas hutan di Kalimantan Selatan seluas 1.779.982 Ha. Kawasan konservasi seluas 213.285 Ha, terdiri dari: Cagar Alam (4 unit) luas 83.586.448 Ha; Suaka Margasatwa (3 unit) luas 10.251.787 Ha; Taman Wisata Alam (3 unit) luas 1.506.627 Ha; Taman Hutan Raya Sultan Adam (1 unit) luas 110.024.370 (dikelola Dinas Kehutanan Provinsi Kalimantan Selatan; dan KSA/KPA Baru (31 Unit) luas 7.915.767 Ha.

Total luas kawasan konservasi yag dikelola oleh Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Provinsi Kalimantan Selatan adalah 101.000 Ha. Desa-desa di dalam dan di sekitar kawasan konservasi di Kalimantan Selatan ada 114 (Seratus Empat Belas) desa, dengan rincian ada 18 desa di dalam kawasan dan 96 desa di daerah penyangga. Keberadaan desa-desa ini sebagian besar tergantung dengan keberadaan kawasan konservasi, sehingga konflik lahan tidak bisa dihindari.

Permasalahan utama di kawasan konservasi Kalimantan Selatan antara lain adalah: perambahan kawasan menjadi kebun sawit, perladangan dan tambak, penebangan pohon bakau di kawasan mangrove, konflik kepentingan dengan kelompok masyarakat dan swasta, dan konflik satwa dengan penduduk.

Penyelesaian permasalahan tersebut di atas tidaklah bisa diselesaikan melalui pendekatan hukum (ligitasi) dan tekhnis semata, tetapi haruslah mengedepankan pendekatan sosiologis khususnya kepada masyarakat lokal yang ada di dalam dan sekitar kawasan konservasi. 

Salah satu payung hukum yang dibuat Pemerintah Republik Indonesia adalah Perdirjen KSDAE Nomor 6 tahun 2018 tentang Petunjuk Teknis Kemitraan Konservasi pada KSA dan KPA. Acuan hukum pemberian akses kelola kepada masyarakat lokal ini hanyalah salah satu instrumen dalam rangka mendukung pelestarian hutan di Indonesia berbasis masyarakat.

Hal yang penting lainnya adalah metode atau pendekatan pengelolaan kawasan hutan itu sendiri. Khusus di kawasan konservasi, maka pengelolaan kawasan ala Dirjen KSDAE adalah 10 Cara Meningkatkan Kelola Kawasan Konservasi.

Cara Kelola Gaya Sosiologis
Sepuluh cara meningkatkan kelola kawasan konservasi yang digadang oleh Dirjen KSDAE adalah: masyarakat sebagai subyek pengelolaan, penghormatan pada Hak Asasi Manusia (HAM), kerjasama lintas Eselan I KLHK, kerjasama lintas kementerian, penghormatan nilai budaya dan adat, kepemimpinan multi level, pengambilan keputusan berbasis sain, pengelolaan berbasis resort (lapangan)/ RBM, pemberian penghargaan dan pendampingan, dan membangun organisasi pembelajaran. Dari kesepuluh cara tersebut di atas, setidaknya ada 5 (lima) cara yang terkait dengan sosiologis.

Mari kita cermati cara-cara kelola konservasi gaya sosiologis tersebut.
Masyarakat sebagai subjek pengelolaan; Masyarakat diposisikan sebagai subyek atau pelaku utama dalam berbagai model pengelolaan kawasan, pengembangan daerah penyangga melalui ekowisata, pemanfaatan Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK), jasa lingkungan, patroli kawasan, penjagaan kawasan, restorasi kawasan, pengendalian kebakaran, budidaya dan penangkaran satwa, penanggulangan konflik satwa, pencegahan perburuan dan perdagangan satwa.

Ditjen KSDAE hanya akan bekerjasama dengan desa dan kelompok masyarakat. Hanya dalam kelompoklah dapat dibangun nilai – nilai kelompok, misalnya kegotongroyongan, kebersamaan, kerjasama, tanggung renteng, dalam rangka membangun tujuan kelompok dan pembelajaran bersama.

Penghormatan pada HAM; Berbagai permasalahan yang menyangkut hubungan masyarakat atau masyarakat hukum adat di dalam kawasan konservasi diselesaikan melalui pendekatan non litigasi dan mengutamakan dialog.

Berbagai produk hukum Kementerian LHK sebenarnya telah mengakomodir berbagai kepentingan masyarakat, yaitu antara lain: 1) Permenhut Nomor 64 tentang Pemanfaatan Air untuk masyarakat; 2) Permenhut Nomor 48 tentang Keberpihakan Pelaku Usaha Jasa Wisata untuk masyarakat setempat; 3) Permen LHK Nomor 83 tentang Perhutanan Sosial tahun 2016.

Penghormatan Nilai Budaya dan Adat; Model Kelola Kawasan Konservasi yang didasarkan pada Nilai – nilai Adat dan Budaya Setempat. Perubahan Geopolitik, Sosial Ekonomi yang terjadi di sekitar kawasan konservasi sebagai dampak dari pembangunan di berbagai bidang selama 47 Tahun terakhir.

Oleh karena itu, Cara Baru Kelola Kawasan Konservasi dilakukan melalui pendekatan berbasis lansekap, atau berbasis daerah aliran sungai atau berdasarkan kondisi ragam ekosistem, ragam adat dan budaya, habitat, sebaran satwa liar dan keberadaan ekosistem esensial dan dengan mempertimbangkan perubahan penggunaan lahan akibat dari pembangunan dan keberadaan serta aspirasi masyarakat dan masyarakat hukum adat, terutama yang kehidupannya masih tergantung pada sumberdaya hutan dan perairan.

Kepemimpinan Multi Level; Kelola konservasi harus didukung manajemen di semua level, mulai dari Jakarta, Provinsi, Kabupaten, Kecamatan, Desa, Dusun dan di tingkat tapak. Leadership yang kuat harus membuktikan mampu membangun kerjasama multipihak dengan berpegang pada prinsip mutual respect, mutual trust, dan mutual benefits.

Kerjasama atau kemitraan merupakan keniscayaan dalam pengelolaan kawasan konservasi, dan oleh sebab itu keberhasilan kelola kawasan konservasi adalah keberhasilan kolektif. Untuk itu harus dibangun kesadaran kolektif (collective awareness) sebagai dasar dimulainya aksi kolektif (collective action).

Para pihak yang bekerjasama, secara bertahap sudah seharusnya mampu menerapkan empat prinsip governance yaitu: partisipasi, keterbukaan,tanggung jawab kolektif dan akuntabilitas.

Penghargaan dan Pendampingan; Salah satu indikator organisasi yang sehat dan mampu merespon perubahan yang cepat adalah kemampuan dan kemauan organisasi tersebut-Ditjen KSDAE untuk memberikan reward bagi UPT yang berhasil dan memberikan bimbingan serta memfasilitasi bagi yang belum berhasil.

Organisasi yang maju adalah organisasi yang mampu mengantisipasi terjadinya potensi kerusakan dan mampu membangun jejaring kerja multipihak berbasis science dan teknologi untuk kepentingan kemaslahatan umat manusia terutama bagi kesejahteraan masyarakat Indonesia yang saat ini dalam proses menemukan kembali jatidirinya dalam pergulatan global.

Gaya Sosiologis untuk Keberhasilan Kehutanan
Menurut Conyers dikutip Tjokrowinoto, setidaknya ada tiga kategori pembangunan yang berkaitan dengan masyarakat, yaitu: Pertama, sebagai pemberian pelayanan sosial; Kedua, sebagai upaya mewujudkan nilai-nilai kemanusian; Ketiga, sebagai upaya untuk meningkatkan kemampuan masyarakat untuk mengambil keputusan dan mengaktualisasikan diri mereka.

Sardjono mengungkapkan bahwa kegiatan pengembangan hutan tentunya tidak terlepas dari wacana sosiologis (sociological discourse), dan ini merupakan faktor kunci bagi keberhasilan pengelolaan hutan di Indonesia secara lestari, namun hal ini merupakan landasan terlemah dari para rimbawan dan profesional kehutanan.

Kita bisa pahami, bahwa gaya sosiologis yang digunakan oleh Dirjen KSDAE dalam pengelolaan kawasan konservasi saat ini merupakan jawaban atas kegagalan metode yang terdahulu yang lebih menekankan pendekatan teknis dan hukum semata. Pemberdayaan bagi masyarakat lokal dengan pendekatan sosiologis akan lebih menjamin keberhasilan dari pada pendekatan hukum.

Konservasi tidaklah harus konservatif, namun konservasi bergaya sosiologis yang mengharmonikan antara manusia dengan satwa dan tumbuhan di alam merupakan solusi yang akan indah pada waktunya. Selamat datang Dirjen KSDAE Ir Wiratno MSc di banua Lambung Mangkurat. (jrz)

 

 

salam bekantan !!!

Source & Doc. by : http:// banjarmasin.tribunnews.com

About Admin BKSDA

Check Also

Balai KSDA Kalsel Fasilitasi Peningkatan Kapasitas Kelompok “Bunga Tanjung” di Desa Tanjung Seloka Utara

Tanjung Seloka Utara, 29 Agustus 2025 – Balai KSDA Kalimantan Selatan melaksanakan kegiatan Fasilitasi Peningkatan …

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *